Pada dasarnya semua manusia di dunia ini memiliki identitas masing-masing
yang secara sadar ataupun tidak telah ia peroleh ketika dilahirkan ke
dunia. Identitas merupakan refleksi atau cerminan diri yang berasal dari
keluarga, gender, budaya, etnis dan hasil daripada komitmen serta eklporasi
terhadap lingkungan sekitar, baik dalam ruang lingkup regional, nasional maupun
internasional. Al-Ghazali atau Algazel (450-505 H/1058-111 M), ia pernah
berkata :“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. Yang artinya,
“Barang siapa yang mengenali dirinya, maka ia akan mengenali Tuhan-nya”. Sampai
saat ini untuk mengetahui diri (identitas) kita, baik dikalangan akademisi,
para agamawan bahkan para bagundal sekalipun ternyata mereka masih bingung akan
identitas dan status mereka itu siapa?
Harus bagaimana? Harus kemana? dan masih banyak sekali pertanyaan yang tidak
bisa dijawab hanya menggunakan nalar dan prasangka semata akan identitas
tersebut. Nah, pertanyaan mendasarnya
adalah who am i itu selalu tersaji dalam setiap renungan tiap insan.
Dalam pencarian identitas seringkali bertolak belakang dari
ramainya diskusi, megahnya seminar dan ngelantur-nya para audien. Terkadang
pencarian identitas dalam ruanglingkup tadi tak ubahnya sekedar mencari
formalitas dan hanya merealisasikan program kerja mingguan, bulanan bahkan taunan
belaka. Alih-alih mencari identitas yang ada malah menutupi enigma identitas
itu sediri. Tahapan untuk menuju identitas setidaknya harus ada
pembenturan/pen-dialog-an antara pengetahuan dengan kehidupan nyata dan menguji
kebenaran akan pengetahuan itu, tidak hanya sekedar memindahkan pengetahuan dan
pengalaman pada otak kita. Alat-alat pengetahuan pada manusia ini sebenarnya sudah
sangat lengkap serta linier, mulai dari
indera, rasio, intuisi juga hati. Perjalanan menuju identitas haruslah
menggunakan semua alat tadi, bila tidak ada salah satu (mengabaikan) ke empat alat
tadi, maka sikap skeptis dan fanatik akan muncul dalam identitas (seseorang)
tersebut. Hal inilah yang sangat dikhawatirkan.
Seperti kita ketahui bersama identitas agama mendapati posisi
paling atas dalam hal terjadinya konflik horizontal yang berujung pada kematian
puluhan bahkan ratusan orang tak bersalah. Terlebih di negara Indonesia yang
terkenal akan kemajemukannya, maka paling tidak cekcok antar
kelompok-pun tidak bisa dihindarkan. Konflik antar kelompok inilah yang
selanjutnya akan mendorong individu-individu dari masing-masing kelompok untuk memunculkan
respon kognitif berupa cara pandang yang mengunggulkan kelompok sendiri dan
merendahkan kelompok orang lain. Dari sinilah pola pikir'kita' dan 'mereka'
terbentuk dan selanjutnya dapat berkembang menjadi stereotip dan prasangka,
pada klimaknya akan mucul diskriminasi bahkan pemusnahan kelompok satu terhadap
oleh kelompok lainnya. .
Identitas manusia pada dasanya merupakan anugerah terbesar yang
diberikan Tuhan. Ketika seseorang telah menemukan identitasnya sebagai makhluk
ciptaan-Nya, maka rasa simpati akan selalu hadir dalam dirinya, tak hanya
simpati dan seremonial formalitas saja yang akan ia tuangkan. Tapi, lebih jauh
lagi ia akan langsung melakukan aksi sebagai bentuk implementasi dari pada
identitasnya sebagai makhluk Tuhan yang diberi tugas untuk mengelola dan
mengembangkan SDA dan SDM-nya. Dalam pada itu ketika identitas telah muncul
dalam diri seseorang ia tidak akan lai memandang tentang ‘saya’, ‘kami’ dan ‘kita’.
Tapi mereka-pun sudah terlibat dalam kehidupan ini dan tak hanya dipandang sebelah
mata. Maka, disini diperlukannya komitmen untuk membangun peradaban identitas
tanpa batas dengan tali kasih sayang sesama makhluk Tuhan.
No comments:
Post a Comment