Siapakah orangnya yang tidak mau mengerjakan sebuah kebaikan yang akan mengantarkan dirinya pada keindahan, kesejukan dan ketentraman hidupnya? Saya rasa semua manusia pada hakikatnya ingin dan akan selalu mempunyai hasrat serta potensi untuk melakukan kebaikan. Hal ini berangkat dari manusia itu sendiri yang memang tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi ini (khalifatul fi al-ardi). Maka, perangkat penunjang untuk memimpin haruslah berbuat baik meskipun hanya satu atau dua kali dalam hidupnya.
Dalam pada itu, menunaikan kebaikan bukanlah perkara yang mudah layaknya membalikan kedua telapak tangan, sehingga terjadi bim-salabim semuanya sesuai dengan rencana dan apa yang diharapkan oleh sipelaku (rencana kebaikan). Dimana ada siang disana pula ada malam, pun demikian dimana ada niatan untuk berbuat baik disana-pun tersaji dengan sistematis sekelumit problem. Lantas apakah kita dapat mewujudkan kebaikan itu sehingga berdaya guna bagi keberlangsungan ekosistem, baik secara hayawani maupun manusiawi?
Setidaknya menurut catatan dan pengamatan salah seorang Kiyai Muda karismatik ( Kiyai Syamsudin M.Ag) yang juga pengasuh Pondok Pesantren Anak Jalanan At-Tamur, Cibiru Hilir-Cileunyi Bandung. Godaan atau penghalang menuju jalur suksesi kebaikan itu setidaknya
ada lima hal (hambatan).
1. Diri sendiri.
Tak banyak memang dari manusia pada umumnya yang selalu menyalahkan dirinya sendiri (intropeksi diri) tatkala sebuah rencana dan sederet sketsa yang dianggapnya baik kemudian tidak terlaksana. Masalahnya adalah karena diri kita sendiri yang kurang siap baik secara finansial maupun secara mental untuk terjun langsung kelapangan harapan "peradaban kebaikan".
Kesiapan itu bisa berupa kemiskinan, tak
punya relasi yang banyak dan juga lainnya, ada relasi tapi ia tidak mengakui akan kekerabatan
tersebut karena kembali kepada pertama pertanyaan dan nafsu dari si link tadi apakah ada feedback yang akan diberikan baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada sipelaku relasi itu? kedua Dan seberapa Tinggi serta lebih-kah materi
yang akan diperoleh ia (si relasi).
2. Keluarga.
Dalam perihal kebaikan bukan main sulitnya mewujudkan cita-cita luhur itu, faktor keluarga biasanya menjadi momok yang menakutkan, apalagi bila keluarga itu minim ekonomi, simpati terhadap sesama dan minim kebijaksanaan.
Keluarga akan menganggap hal (cita-cita) tersebut sebagai bentuk sia-sia belaka yang tidak perlu dilakukan sama sekali, mengingat orang yang akan kita tolong itu kurang berperan vital dalam keberlangsungan hidup si keluarga tersebut. Masih mending orang yang ditolong itu ada kekerabatan atau peran dalam keluraga tersebut, lha ini kalau tidak ada maka, tidak sedikit dari mereka yang menghalangi cita-cita mewujudkan kebaikan tersebut.
Keluarga juga biasanya menanyakan perihal keuntungan yang
akan didapatkan ketika melakukan tindakan tersebut. Sedangkan pekerjaan itu
harus dan memang lazimnya menghasilkan materi.
Tak ubahnya para Nabiyullah yang banyak dicoba oleh keluarganya dalam suksesi kebaikan, sebut saja Nabi Nuh A.s dan Nabi Shaleh A.s, dimana para keluarganya sangat menentang rencana kebaikan Nabi-Nabi A.s tersebut. Tercatat Kan'an putra Nabi Nuh A.s justru ialah yang pertama kali menjadi penghalang suksesi kebaikan Nuh A.s.
3. Teman sejawat.
Bisa jadi mungkin yang Anda dan saya ketahui dalam suksesi kebaikan teman itu adalah orang yang paling berperan dalam cita-cita tersebut, padahal dalam relaitas tak ada teman abadi, bahkan bagi sekelas politikus dan kaum elit sekalipun. kita Ambil sempel Pesantren, ketika hendak melakukan kebaikan dalam sebuah lembaga Pesantren tak jarang para guru dan pengurus Pesantren justru tidak sepaham, mereka menginginkan jalur dan kurikulum masing-masing dalam rangka menyukseskan dan memajukan pesantren. Inilah akar permasalah kebaikan yang dapat mengekibatkan terjadinya konflik internal. Karena mereka menginginkan popularitas masing-masing, pada puncaknya perpecahan-pun terjadi dan lembaga menjadi terbengkalai, akhirnya kebaikan itu tidak terlaksana dan gagal total (gatal).
Lain teman lain lagi
sahabat, Shahabat adalah mereka yang cenderung selalu menasihati, tak ada istilah tikung-menikung dalam berbuat baik. Sahabat akan senantiasa melakukan dan men-support segala bentuk gagasan yang sekiranya menurut si penggagas dan si sahabat itu baik.
4. Variabel yang setingkat.
Kita ambil contoh lagi antara Pesantren A dan Pesantren. Disisni kembali lagi perseturuan antara variabel yang sama dalam hal mencari popularitas, baik dari segi sarana dan prasarana maupun dari kuantitas serta kualitas Santrinya, minimal disini konlfik horizontal akan tersaji. Kecilnya
saling menjatuhkan secara lisan dan pada akhirnya konflik fisik.
5. Lingkungan.
Yang terakhir ini adalah
yang paling getol dan sering membuat konflik baik secara langsung maupun secara
siir ( tersembunyi).
*Saran sementara penulis untuk meminimalisir gagalnya melakukan kebaikan hendaklah diperhatikan hal-hal di atas, tentunya dengan kesiapan mental, finansial dan juga tekad yang kuat. Mengutip dari perkataan Al-Mukarram Ach Dhofir Zuhry "Kerjakanlah do'amu dan do'akan-lah kerjamu", sekian dan terimakasih semoga dapat bermanfaat.
No comments:
Post a Comment