Monday, February 8, 2021

Tersalip di Tikungan Terakhir

Hari itu sabtu tepat pukul 9 lebih 20 malam, aku mendengar kabar adanya seseorang yang sedang mencari cangkang asmara baru setelah cangkang lamanya yang dulu dihancurkan oleh salah seorang santri timur tengah yang entah darimana bisa-bisanya mencomot “calon jodoh” si seseorang tersebut. Aku yang mengetahui kejadian itu langsung terhanyut kok bisa ya dengan modal relasi dan kekayaan seseorang, seenaknya mengambil sebuah target yang sudah ditentukan oleh seseorang.

Aku yang memang terbiasa hidup dilingkungan pesantren faham betul bagaimana dalam hal ini perjodohan kolega kiyai atau ustadz dengan salah satu santri atau santriwatinya seringkali menjadi hal yang lumrah adanya. Namun, disaat bersamaan pasti selalu ada sebingkai hati yang terluka dari pemilik sebelumnya. Pendek kata, kolega atau saudara ini tidak tahu menahu tentang hubungan seseorang yang akan ia ambil, bahwasanya dia telah diikat dengan ikatan yang sebelumnya ia buat. Meski dalam praktiknya ikatan ini tidak melulu soal khitbah ataupun yang biasa kita kenal dengan tunangan.

Dalam rumus dunia memang dibenarkan kita mengambil sesuatu yang belum jelas pemiliknya. Artinya dengan sangat mudah kita bisa mengambil bahkan memanfaatkan objek yang tak berpenghuni tersebut demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Namun, dalam kaca mata asmara sejatinya hal ini sangat tidak etis dan tidak mempunyai estetika. Pasalnya seseorang yang telah mengikat janji antar rasa harus dengan terpaksa mau tidak mau untuk ikut kepada imbuhan sang penganjur dalam hal ini kiyai atau ustadz.

Seringkali usia yang sangat muda dan kemapanan yang tidak jelas membuat beberapa kelompok menilai bahwa seseorang tersebut belum cukup untuk mengenyam asmara. Padahal dalam realitasnya, cinta itu bukan soal kemapanan dan juga usia tapi ia soal hati. Bila hati telah menancap pada suatu objek maka secara tidak sadar ia akan selalu ada dalam setiap realitas kehidupannya.

Keyakinan akan hati itu seperti kita mempercayakan kepada salah seorang supir ketika kita hendak pergi ke suatu tempat. Tanpa kita ketahui siapa supir, nahkoda atau pilotnya, kita dengan pecaya diri telah menyimpan hati kita kepada pengendara itu. Bahwasanya kita akan selamat sampai tujuan, padahal sejatinya kita tidak pernah mengenal terlebih dahulu siapa dia, sekolah supir dimana dan seterusnya. Namun, karena keyakinan kita akan kemampuan ia mengemudikan sebuah kendaraan secara otomatis otak dan hati akan mengkoding bahwa ia akan memberikan layanan keselamatan yang baik sampai tujuan. Begitupun dengan kita berkomitmen soal hati. Tak ada yang bisa memungkiri hal tersebut.

Pagi itu memang angin berkisah pada fajar cerah bahwasanya akan tiba saatnya dimana sebuah hati akan rontok oleh materi dan relasi. Entah apapun dan seberapapun hati begriming untuk menemukan asmara materi dan relasi tetap menjadi juru kunci bagi sebuah spit law. Hukum terkadang memang seperti itu, kenyataan sebuah kebenaran selalu menjadi bualan ketika berada pada posisi dimana si tukang tani akan kalah dengan konstruktor jagat ini.

No comments:

Post a Comment

Mahasiwa Zaman Now

  lucuketawangakak.blogspot.com Mahasiswa Zaman Now S elama manusia masih menempati bumi ini, maka selama itu pula man...