Hari itu sabtu tepat pukul 9 lebih 20
malam, aku mendengar kabar adanya seseorang yang sedang mencari cangkang asmara
baru setelah cangkang lamanya yang dulu dihancurkan oleh salah seorang santri
timur tengah yang entah darimana bisa-bisanya mencomot “calon jodoh” si
seseorang tersebut. Aku yang mengetahui kejadian itu langsung terhanyut kok
bisa ya dengan modal relasi dan kekayaan seseorang, seenaknya mengambil sebuah
target yang sudah ditentukan oleh seseorang.
Aku yang memang terbiasa hidup
dilingkungan pesantren faham betul bagaimana dalam hal ini perjodohan kolega
kiyai atau ustadz dengan salah satu santri atau santriwatinya seringkali
menjadi hal yang lumrah adanya. Namun, disaat bersamaan pasti selalu ada
sebingkai hati yang terluka dari pemilik sebelumnya. Pendek kata, kolega atau
saudara ini tidak tahu menahu tentang hubungan seseorang yang akan ia ambil,
bahwasanya dia telah diikat dengan ikatan yang sebelumnya ia buat. Meski dalam
praktiknya ikatan ini tidak melulu soal khitbah
ataupun yang biasa kita kenal dengan tunangan.
Dalam rumus dunia memang dibenarkan kita
mengambil sesuatu yang belum jelas pemiliknya. Artinya dengan sangat mudah kita
bisa mengambil bahkan memanfaatkan objek yang tak berpenghuni tersebut demi
kepentingan pribadi maupun kelompok. Namun, dalam kaca mata asmara sejatinya
hal ini sangat tidak etis dan tidak mempunyai estetika. Pasalnya seseorang yang
telah mengikat janji antar rasa harus dengan terpaksa mau tidak mau untuk ikut
kepada imbuhan sang penganjur dalam hal ini kiyai atau ustadz.
Seringkali usia yang sangat muda dan
kemapanan yang tidak jelas membuat beberapa kelompok menilai bahwa seseorang
tersebut belum cukup untuk mengenyam asmara. Padahal dalam realitasnya, cinta
itu bukan soal kemapanan dan juga usia tapi ia soal hati. Bila hati telah
menancap pada suatu objek maka secara tidak sadar ia akan selalu ada dalam
setiap realitas kehidupannya.
Keyakinan akan hati itu seperti kita
mempercayakan kepada salah seorang supir ketika kita hendak pergi ke suatu
tempat. Tanpa kita ketahui siapa supir, nahkoda atau pilotnya, kita dengan
pecaya diri telah menyimpan hati kita kepada pengendara itu. Bahwasanya kita
akan selamat sampai tujuan, padahal sejatinya kita tidak pernah mengenal
terlebih dahulu siapa dia, sekolah supir dimana dan seterusnya. Namun, karena
keyakinan kita akan kemampuan ia mengemudikan sebuah kendaraan secara otomatis
otak dan hati akan mengkoding bahwa ia akan memberikan layanan keselamatan yang
baik sampai tujuan. Begitupun dengan kita berkomitmen soal hati. Tak ada yang
bisa memungkiri hal tersebut.
Pagi itu memang angin berkisah pada
fajar cerah bahwasanya akan tiba saatnya dimana sebuah hati akan rontok oleh
materi dan relasi. Entah apapun dan seberapapun hati begriming untuk menemukan
asmara materi dan relasi tetap menjadi juru kunci bagi sebuah spit law. Hukum terkadang memang seperti
itu, kenyataan sebuah kebenaran selalu menjadi bualan ketika berada pada posisi
dimana si tukang tani akan kalah dengan konstruktor jagat ini.
No comments:
Post a Comment