Sunday, April 1, 2018

Refleksi Terhadap Identitas Dalam Bermasyarakat Sosial



Pada dasarnya semua manusia di dunia ini memiliki identitas masing-masing yang secara sadar ataupun tidak telah ia peroleh ketika dilahirkan ke dunia.  Identitas merupakan refleksi  atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan hasil daripada komitmen serta eklporasi terhadap lingkungan sekitar, baik dalam ruang lingkup regional, nasional maupun internasional. Al-Ghazali atau Algazel (450-505 H/1058-111 M), ia pernah berkata :“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. Yang artinya, “Barang siapa yang mengenali dirinya, maka ia akan mengenali Tuhan-nya”. Sampai saat ini untuk mengetahui diri (identitas) kita, baik dikalangan akademisi, para agamawan bahkan para bagundal sekalipun ternyata mereka masih bingung akan identitas dan status mereka itu  siapa? Harus bagaimana? Harus kemana? dan masih banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa dijawab hanya menggunakan nalar dan prasangka semata akan identitas tersebut. Nah,  pertanyaan mendasarnya adalah who am i itu selalu tersaji dalam setiap renungan tiap insan.  
Dalam pencarian identitas seringkali bertolak belakang dari ramainya diskusi, megahnya seminar dan ngelantur-nya para audien. Terkadang pencarian identitas dalam ruanglingkup tadi tak ubahnya sekedar mencari formalitas dan hanya merealisasikan program kerja mingguan, bulanan bahkan taunan belaka. Alih-alih mencari identitas yang ada malah menutupi enigma identitas itu sediri. Tahapan untuk menuju identitas setidaknya harus ada pembenturan/pen-dialog-an antara pengetahuan dengan kehidupan nyata dan menguji kebenaran akan pengetahuan itu, tidak hanya sekedar memindahkan pengetahuan dan pengalaman pada otak kita. Alat-alat pengetahuan pada manusia ini sebenarnya sudah sangat  lengkap serta linier, mulai dari indera, rasio, intuisi juga hati. Perjalanan menuju identitas haruslah menggunakan semua alat tadi, bila tidak ada salah satu (mengabaikan) ke empat alat tadi, maka sikap skeptis dan fanatik akan muncul dalam identitas (seseorang) tersebut. Hal inilah yang sangat dikhawatirkan.
Seperti kita ketahui bersama identitas agama mendapati posisi paling atas dalam hal terjadinya konflik horizontal yang berujung pada kematian puluhan bahkan ratusan orang tak bersalah. Terlebih di negara Indonesia yang terkenal akan kemajemukannya, maka paling tidak cekcok antar kelompok-pun tidak bisa dihindarkan. Konflik antar kelompok inilah yang selanjutnya akan mendorong individu-individu dari masing-masing kelompok untuk memunculkan respon kognitif berupa cara pandang yang mengunggulkan kelompok sendiri dan merendahkan kelompok orang lain. Dari sinilah pola pikir'kita' dan 'mereka' terbentuk dan selanjutnya dapat berkembang menjadi stereotip dan prasangka, pada klimaknya akan mucul diskriminasi bahkan pemusnahan kelompok satu terhadap oleh kelompok lainnya. .
Identitas manusia pada dasanya merupakan anugerah terbesar yang diberikan Tuhan. Ketika seseorang telah menemukan identitasnya sebagai makhluk ciptaan-Nya, maka rasa simpati akan selalu hadir dalam dirinya, tak hanya simpati dan seremonial formalitas saja yang akan ia tuangkan. Tapi, lebih jauh lagi ia akan langsung melakukan aksi sebagai bentuk implementasi dari pada identitasnya sebagai makhluk Tuhan yang diberi tugas untuk mengelola dan mengembangkan SDA dan SDM-nya. Dalam pada itu ketika identitas telah muncul dalam diri seseorang ia tidak akan lai memandang tentang ‘saya’, ‘kami’ dan ‘kita’. Tapi mereka-pun sudah terlibat dalam kehidupan ini dan tak hanya dipandang sebelah mata. Maka, disini diperlukannya komitmen untuk membangun peradaban identitas tanpa batas dengan tali kasih sayang sesama makhluk Tuhan.



Mahasiwa Zaman Now

  lucuketawangakak.blogspot.com Mahasiswa Zaman Now S elama manusia masih menempati bumi ini, maka selama itu pula man...