Saturday, October 6, 2018

Filosofi Pendidik dalam Kaca Mata Wahyu




Wayhu secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu pedoman yang harus diikuti berdasarkan yang tersurat dalam kitab-kitab suci berabagai agama. Namun, tidak jarang juga wahyu turun dalam bentuk lisan. Sifat dari pada wahyu yang komprehensif, universal dan juga integral seringkali dan bahkan telah menjadikannya sebagai sumber problem solving dari pelbagai permasalahan manusia di muka bumi ini. Sebagai seorang muslim tentunya kita mempunyai kitab mulia yaitu Al-Qur’an yang diturunkan oleh sang Khalik Allah Swt melalui malaikatnya Jibril, kemudian disampaikan oleh seorang kekasih-Nya bernama Nabi Muhammad Saw, juga merupakan sebuah rujukan sumber hukum dan sumber insprirasi dari berbagai ilmu yang belakangan telah tercipta.
Selama sejarah kehidupan manusia terus senantiasa berusaha memahami hakikat dirinya. Dinamika perkembangan manusia dalam pergumulan mencari hakikat jati dirinya telah banyak melahirkan berbagai teori dari banyak aliran filsafat. Tidak ada satupun dari teori itu yang dapat memuaskan pencarian manusia, karena keterbatasan yang dimiliki manusia itu sendiri. Teori yang telah diterima dilingkungan suatu aliran filsafat, dalam kenyataannya bersamaan dengan berjalannya waktu, kerapkali dirasakan belum memadai.  Pada dasanya semua manusia terlahir seorang diri tanpa pengetahuan sama sekali[1] (dalam hal ini pengetahuan tentang alam semesta, meskipun pada kenyataannya ia sudah mempunyai pengetahuan akan Tuhannya). Maka dari itu semua spesies makhluk ini memerlukan seorang tenaga pengajar baik secara formal maupun informal, demi memenuhi hasrat intelectual-nya, hal ini dibutuhkan dalam rangka memahami segala pesan realitas tersirat maupun tersurat yang bertebaran ditataran dunia. Pengajar itu sendiri bisa saja berupa alam itu sendiri (pengalaman jagat raya), manusia (Guru) bahkan Tuhan  (hakikat pemilik ilmu) sekalipun merupakan seorang guru[2] yang memberikan kita akan pemahaman (understanding)tentang alam raya.
Jauh sebelum manusia lahir ke dunia, sebenarnya ia bisa saja memperoleh pengetahuan ketika berada di alam rahim ibundanya. potensi inderawi merekalah yang akan mengantarkan mereka pada pengetahuan. Namun sayang seribu sayang secara medis inderawinya memang sudah ada, tapi secara lahiriyah inderawi tersebut belum berfungsi, sehingga umpamanya si bapak anak tersebut memberikan ilmu sampai teriak-teriakpun terhadap bayi dalam kandungan ibundanya, ketika lahir ia (bayi tersebut) tidak akan begitu saja pintar dan mengerti apa yang pernah bapaknya sampaikan sewaktu dalam kandungan. Dalam artikel ini saya tidak akan terlalu panjang  lebar membahas tentang hakikat manusia secara universal. Fokus kajian saya adalah Filosofi seorang tenaga pengajar atau  Guru dalam  menjalankan misisnya. Sudah menjadi lumrah adanya bahwa seorang guru adalah pendidik paling efektif dalam mencerdaskan bangsa juga para manusia, berbeda halnya dengan para konsultan, para agamawan juga para bagundal, bromocorah dan tukang markup anggaran.
Hal yang sangat dan jarang diketahui banyak orang pada umumnya tentang pengajar adalah, bahwasanya mereka mengajar bukan semata-mata tujuan utamanya menjadikan anak didik mereka cerdas dan juga pintar. Tugas dari pada seorang pengajar tidak lebih dari sekedar penyampai lidah, pembimbing, peng evaluasi, juga disamping pengarah. Hal inilah yang kemudian akan mengantarkan guru/pengajar pada jati dirinya. Pemaknaan seorang pengajar seringkali bertentangan dengan realitas kehidupan ini. Misalnya; Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:377), yang dimaksud dengan guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.
Dari sedikit uraian definisi tersebut sudah tergambar jelas, bahwasanya pengajar itu merupakan profesi pekerjaan.Hal ini jauh sekali dengan cita-cita bangsa yang luhur akan harapannya terhadap pengajar, seyogiyanya pengajar itu adalah ia yang selalu membimbing muridnya agar bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, begitupun bisa menbedakan mana yang seharusnya anak dididk itu lakukan dan tidak  harus ia lakukan.  Fenomena akhir-akhir ini seperti yang telah diberitakan oleh media-media luar negeri bahwasanya pendidikan kita ini menempati urutan yang cukup mengecewakan dilansir dari The Guardian, Indonesia menempati urutan ke-57 dari total 65 negara. Survei ini diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development. Lalu apakah ekonomi dan bidang politik kita juga sama jeleknya? Menurut hemat saya kalau untuk bidang dua tadi saya rasa tidak... tidak jauh dari perkiraan awal. karena mau tidak mau sebuah negara bisa dikatan maju bila tingkat melek baca litearsi dan pendidikannya sudah bisa dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.
Alokasi dana pendidikan dari APBN tahun anggaran 2018 itu hampir mendekati 500 triliun rupiah tepatnya 440 T koma sekian, artinya dua puluh persen APBN digunakan untuk pendidikan, anggaran pendidikan memang tinggi namun kualitas pendidikan yang didapatkan oleh  anak didik pada umumnya jauh dari harapan mengentaskan kebodohan malah tidak sedikit dari sekolah-sekolah di Indonesia ini yang membodohi para anak didiknya dengan tidak transparansi soal dana yang dipakai dalam kegiatan belajar-mengajar oleh aparatur pendidik. Kembali lagi kepada filosofi seorang pengajar, bahwasanya sejatinya pengajar harus selalu ikhlas dalam mengajar dan tidak menjadikan profesi gurunya sebagai mata pencaharian utama demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pergeseran paradigma para guru kini mulai terasa, baik dikalangan sekolah dasar, menengah, atas maupun di perguruan tinggi,  tidak sedikit dari mereka yang sudah melupakan asas guru sebagai pahlawan tanpa jasa yang dulu selalu melekat kini tak ada lagi karena terbukti dengan adanya demo kenaikan pangkat PNS, kenaikan dari status honorer sampai pada yang lebih mirisnya justru, guru yang sudah menyandang status PNS lebih sedikit kinerjanya dari pada guru yang berstatus Honorer. Bila kita sedikit mengamati adagium guru sebagai Pahlawan tanpa Jasa sebenarnya  di Indonesia ini sudah hampir tidak ada lagi, yang tersisa hanya ada segelintir Pahlawan tersebut  karena terbukti dengan fakta-fakta di atas menunjukan ketidak ikhlasan seorang pengajar seperti yang tergambar dalam lagunya Bang Iwan Fals yang berjudul Guru Oemar Bakrie sudah hampir punah.
            Mind seat ekonomi yang dibangun barat sudah merambat ketataran pengajar tidak sedikit banyak dari para guru membebankan biaya yang tinggi misanya, pembelian buku paket di sekolah-sekolah yang harganya tinggi, kemudian disusul di kampus-kampus yang membebankan kewajiban untuk para mahasiswanya membeli buku yang telah diatur sedemikian rupa oleh para dosen hanya sekedar menambah pendapatan pribadinya. Hal inilah yang kemudian secara tidak langsung mengurangi minat belajar para peserta didik karena terlalu banyak dibebani biaya, yang seharusnya juga pemerintah berperan aktif dalam menyelesaikan makelar-makelar pengadaan buku bagi peserta didik si penagajar. Beban ekonomi yang ditanggung para pengajar juga tak jarang membuat mereka harus melakukan tindakan korupsi baik dalam bentuk waktu maupun me markup anggaran  segala yang berhubungan dengan saran dan prasarana institusi pendidikan. padahal kalau kita cermati untuk pengahsilan para PNS khususnya ditataran gur terbilang variataif dimuali dari yang kelas terbawah sampai  yang paling tinggi berada dikisaran 1,2 juta samapai 5 juta. tepatnya; golongan 1a untuk PNS Masa Kerja Golongan 0 tahun (terendah) Rp 1.323.000 dari sebelumnya Rp 1.260.000, Masa Kerja Golongan 26 tahun (tertinggi) Rp 1.979.900 dari sebelumnya Rp 1.847.000 dan golongan yang paling tinngi  yaitu Golongan 4e bisa mendapatkan imbalan sebesar Masa Kerja Golongan 0 tahun (terendah) Rp 3.045.600 dari sebelumnya Rp 2.875.200, Masa Kerja Golongan 32 tahun (tertinggi) Rp 5.002.000 dari sebelumnya Rp 4.603.700.[3] Belum lagi pelbagai tunjangan yang menanti mulai dari kesehatan dan lain sebagainnya. Namun realitanya justru para dari kalanagn PNS inilah yang dalam mengajarkan Ilmunya semaunya dia sakarep dewek.
Dalam pada itu  akibat pergeseran paradigma tentang guru tersebut tak jarang dibeberapa daerah kekurangan tenaga pengajar profesional, yang secara tidak langsung berimbas pada kualitas dan kuantitas dunia pendidikan di Indonesia ini menururn. Bila pendidikan disuatu negara buruk atau terbelakang maka dapat dipastikan bahwa Sumber Daya Manusianya juga buruk. akibat yang lebih parah lagi dari pada itu semu adalah akan terjadi krisis baik dari segi ekonomi, pilitik juga tentunya moral suatu bangsa. Untuk mengatasi semua persoalan itu kiranya semua agama dimuka bumi ini telah mengatur kewajiban bagi setiap yang memiliki ilmunya untuk mengajarkan apa yang mereka ketahui tentang kebenaran suatu ilmu dan kebenaran tentang cara hidup. Seorang gurupun tidak dibebani kewajiban untuk membuat semua muridnya menjadi cerdas, pintar apalagi bisa dalam segala hal. Karena sejatinya guru itu hanya penyampai lidah dari ilmu itu sendiri dia (guru) hanya sebagai media penyamapi tidak lebih, soal apakah murid itu menjadi pintar dan paham akan suatu ilmu itu hanya Tuhanlah yang mempunyai kah perogeratif atas kepahaman dan kepintaran si murid. 
Maka dari itu semua, sejatinya guru dalam mengajari anak didiknya harus menerapkan prinsip sebagai media penyampai yang bijak, fahamilah apa keinginan si murid tersebut tanpa harus membentak apalagi sampai terjadi kontak fisik yang berlebihan dalam mengajar. Tanamkanlah kesabaran dalam mengajar dan keikhlasan serta dedikasi mengajar yang ramah bagi murid.
Dalam kaitannya seorang guru menjalankan perannya sebagai penyampai lidah, pembimbing sekaligus penyemangat (dalam hal ini menghadapi kehidupan untuk menuju kasih sayang dan naungan Rabbnya) maka hal yang pertama kali harus menjadi perhatiaan seorang guru terhadap muridnya adalah mengajarkannya Kalimat Tauhidullah, kemudian mengajarkan bersyukur juga tak lupa mengajak selalu mengaplikasikan ilmu yang telah murid itu terima, seperti halnya yang terekam dalam Al-Qur’an bagimana Lukman mengajarkan anaknya untuk selalu bersyukur dalam segala hal, dengan secara tidak langsung Lukman mengajak anaknya untuk sekaligus belajar tatacara bersyukur, salah satunya melalui cara meyakinkan dengan sepenuhnya bahwa tuhan kita itu Esa yaitu Allah Swt. Meyakini dengan sehak-haknya bahwa Dialah yang paling pantas untuk disembah dan yang paling paling berhak unutk dipuji.
Sejatinya seorang pengajar dalam mengajar harus mengajarkan dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas dan sabar, karena semua itu adalah given dari Allah Swt yang musti dan harus disyukuri dengan  memuji-Nya dan meng-Esakan-Nya dan hal tersebut dibuktikan dengan ibadah yang terus menerus diabrengi dengan sabar dan Shalat. Wahyu (dalam hal ini Al-Qur’an dan Hadis) merupakan payung hukum disamping payung inspirasi dan payung bagi sebuah Ilmu.











catatan:
[1]. Hal ini ditunjukkan dalam surat an Nahl ayat 78
pada pembuka ayat yang berbunyi: ,و الله أخرجكم من بطون أمهاتكم لاتعلمون شيئا
"bahwa Allah mengeluarkan manusia dari perut ibu mereka dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu apapun". Dan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
manusia perlu mengoptimalkan secara maksimal potensi-potensi yang telah
dibekalkan oleh Allah kepada mereka.
[2]. M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al Qur an Vol
VII, hlm. 304
[3]. Liputan 6 news

Mahasiwa Zaman Now

  lucuketawangakak.blogspot.com Mahasiswa Zaman Now S elama manusia masih menempati bumi ini, maka selama itu pula man...